Breaking

logo

Thursday, June 26, 2014

Pelajaran 100 Buku

Pelajaran 100 Buku


Sedikit berteorisasi. Menurutku, ada dua hal yang bisa menjadi racun sekaligus obat bagi kita. Ialah ilmu dan sanjungan. Mereka tak segan mencerdaskan kita dan menambah semangat kita. Namun mereka juga tak segan mengantar kita pada sebuah kesombongan dan kelenaan. Teruntuk ilmu. Dia siap jadi senjata untuk berperang tapi dia juga siap untuk memotong urat-urat nadi kita. Terdengar mengerikan, tapi itulah dia. Dan kenikmatan sesungguhnya terletak pada akhir kalimat, bukan awal kalimat.
Sampaikan walau satu ayat. Terlihat mudah, tapi berat ketika diresapi. Tentunya banyak hal yang harus dipertimbangkan. Lantas, jangan karena tulisan ini sesuatu yang harus disampaikan jadi urung. Selagi menuang tentu kita juga mengisi, pastinya harus sesuai porsi, dosis dan tempat. Tak banyak yang bisa disampaikan, tapi semoga kita sama paham dengan hal-hal yang terjadi. Lagi-lagi bukan menggurui. Boleh jadi orang yang menuliskan kata-kata ini juga tak lebih baik dari siapapun. Selamat membaca dan meresapi tulisan padat ini. Kisah yang tak seberapa bagus, tapi cukup untuk mengisi waktu luang, daripada hanya sekedar membuka FB, melihat profil orang lain atau bahkan menunggu like dan komentar dari orang lain.
***
 Ku hirup aroma pagi yang bagiku tak pernah mengecewakan. Ku telan segelas penuh air putih, berjalan menuju kamar mandi, dan kubasuh semua dengan niat. Tinggal menambahkan aksen atau sentuhan terakhir, subuh. Alhamdulillah! Jimat pagiku sudah ku lakukan. Subuh adalah jimat, bagiku. Jika aku tak mengawali pagi ini dengan subuh, maka aku tak menjamin segala aktivitasku hari ini akan berjalan dengan mulus. begitu pula pada sholat lainnya. Jika subuh terlewati, tentu hari ini aku akan mendapat kutukan.
            Hari ini kuliah perdanaku. Dengan langkah pertama, debut pertama, dan aroma pertama. Aroma mahasiswa.
Ku tunggui kuliah pertamaku sambil duduk-duduk di depan kelas. Tiba-tiba aku melihat sesosok mbak-mbak dengan kerudung panjang lebar dan menggunakan gamis yang panjang lebar pula, lewat tepat di depanku. Sliwer……….
Hah! Istri Gus? Ucapku dalam hati.
Aku jadi teringat percakapanku dengan nenek sebelum aku berangkat kuliah di kota ini.
Mak! Itu siapa sih? Mbak yang selalu memakai kerudung besar dan rok panjang yang sering belanja disini juga, emak kenal? Tanyaku pada nenek saat itu.
O, itu! Mak lupa namanya, siapa ya? Tapi yang jelas, setau mak itu istrinya Gus. Gus Hanif, pengasuh pondokan di Gondanglegi? Jawab nenek agak lirih.
O, istrinya Gus ya mak? Cantik ya? Tambahku sambil memandangi mbak itu, yang memang cantik.
Ah! Sudahlah, cukup waktu untuk terpakur dan melamun. Sepertinya sudah masuk.
***
Akhirnya. Kuliah perdana pun selesai, setelah 2 jam bergulat dengan teman, dosen dan pelajaran baru. Tidak terlalu buruk untuk ukuran hal baru. Hanya sedikit bosan. Adzan ashar pun berkumandang. Ok! Jimat ketiga ku hari ini. Setelah selesai wudhu, aku berjama’ah di Masjid. Setelah selesai sholat, ku lepas mukena renda putih terusan. Juga mereka yang sudah selesai sholat. Sedikit heran. Aku pun berpikir ulang.
Hah! Para Istri Gus?. Banyak banget ya! Ucapku dalam hati.
Tak berapa lama kemudian, salah seorang mbak-mbak itu menghampiri aku yang sedang duduk santai. Kami berbincang ringan. Kurasa mbak ini menarik juga. Setelah mbak itu pergi, aku mulai bernafas lega. Fiuuh! Hampir saja aku mengeluarkan pertanyaan pamungkasku, mbak ini apa istrinya Gus? Atau anggota keluarga pondokan? Untungnya aku tak jadi menanyakan hal bodoh itu, karena mungkin aku akan dianggap aneh. Alasan kedua aku berpikir akan mencari tahu sendiri tentang hal ini. Hmmm, Kelihatannya aku memang benar-benar licik.
***
Keesokannya, saat aku santai melenggangkan tanganku sambil berjalan ke arah kelas, tiba-tiba Geya memanggilku. Sepertinya Geya bersama mbak-mbak yang kemarin kutemui di Masjid. Aku pun datang.
“Nad, daftar UKM yuk!” ajak Geya.
“Iya, aja deh Ge. Daripada nganggur, kuliah juga gini-gini aja” jawabku
Pada akhirnya, aku dan Geya, teman sekelasku. Mendaftar UKM yang ia sarankan padaku. “An-Nahl”, dan lagi-lagi aku bertemu dengan para istri Gus. Tapi miinimal aku bisa mencari makanan untuk rohaniku yang selalu terlihat muram, dan berita baiknya lagi, aku bisa menjaga diri saat berada disini. Di kota besar ini, yang kata orang-orang terlihat sedikit “liar” dan penuh dengan sensasi bling-bling yang menyilaukan. Walau tak sehebat mbak-mbak ini, para istri Gus. Anggapku kala itu.
***
Perlahan. Aku mulai menemukan apa yang ku cari dan yang ku butuhkan, tentunya bersama Geya. Termasuk Tentang istri Gus, itu kebodohanku. Karena tak semua yang berpakaian lebar dengan kerudung panjang adalah istri Gus, tapi istri Gus biasanya berpakaian lebar dengan kerudung panjang. Sedikit berteori.
Bulan demi bulan kita lewati, aku dan Geya teman sekelasku, kini makin berisi. Selain datang ke banyak majlis ilmu aku juga sering membaca buku-buku bertajuk islami. Aku menyukainya, sangat menyukai semua ini.
Tapi yang ku rasakan saat ini, kadang aku merasa iri dengan Geya yang lebih sigap, tangkas, cerdas dan lugas dalam hal keislaman. Tak sepertiku yang hanya begini-begini saja. Dia sering memberi tau banyak orang. Karena ini sebuah Lembaga Da’wah Kampus tentu saja sasarannya adalah berda’wah, mungkin seperti dia. Ia tak sungkan menegur ketika itu salah. Seperti yang kualami waktu itu, saat acara ngaji bersama, tiba-tiba dia nyletuk “Bukankah kaki juga aurat, dan bukankah kamu sudah tau? Mungkin lain kali, kaos kakinya bisa dipake ya, Nad”. Tentu saja aku malu bukan kepalang, banyak orang lagi. Hmm, kadang aku ingin seperti dia. Dia begitu berani. Dia memang hebat.
            Aku ingin seperti dia. Kenapa, apa yang salah? Kapasitasku dengannya juga sama, mungkin malah lebih. Aku juga banyak tau karena aku juga mendapatkan banyak pengetahuan dari 10 buku yang sudah ku baca. Aku siap melakukan hal seperti Geya.
            Saat aku beranjak sholat, aku melihat teman yang akan sholat juga disampingku. Karena aku merasa cara memakai mukenanya itu salah, aku akan berusaha menegurnya. Dap! jantungku, tiba-tiba berdeguk keras. Banyak orang disana, aku takut ia malu. Tapi aku harus menegurnya. ketika aku berniat menegur temanku itu, tiba-tiba datang Geya padaku yang juga akan sholat. Dia menghampiriku, lalu membenahi mukenaku.
Biarin Ge, emang tak giniin. Kata guruku dulu, kalo sholat dagu itu juga aurat” kataku  padanya.
“Aurat? Iyakah? Memang ada dalilnya ya?” kata Geya sambil tersenyum.
Mataku seketika membulat, rasanya aku seperti diterkam dengan ribuan mata pisau yang amat tajam. Lagi-lagi aku harus menaggung malu.
“Dalil? Aku kurang begitu tau, tapi ketika orang yang lebih baik ilmunya dan ku anggap sebagai guru, aku akan mengindahkan apa yang beliau katakan, tanpa berurusan dengan dalil. Karena ku pikir apapun yang beliau sampaikan pasti ada manfaatnya” jawabku sedikit sigap.
“Iya, tapi semua yang kita dapatkan itu, harus jelas dalilnya. Agar ia menjadi sebuah kebenaran yang sesungguhnya. Makanya, nanti kalo dikasih tau tentang hal yang baru. Tanya dalilnya yang mana, supaya jelas” jawabnya dengan lebih sigap.
Setelah apa yang ia sampaikan aku jadi begitu tertantang untuk lebih banyak membaca buku. Aku berpikir tentang dalil. Jika guruku mengatakan tentang suatu hal kepadaku, lalu aku mempertanyakan sebuah dalil pada beliau. Mungkinkah itu sebuah kecerdasan, kesombongan, atau sedikit hal bodoh? Atau mungkin ibuku menyuruhku untuk tidak melakukan sesuatu karena pamali atau yang lain, lalu aku menanyakan sebuah dalil pada beliau. Apakah itu sebuah kepantasan atau sebuah kecerdasan? Itu pikiran kotorku, padahal mungkin benar yang ia sampaikan.
Sudahlah. Pilihan tetap ada ditangan kita. Tapi bagiku keimanan itu tanpa syarat. Ketika aku mengimaninya dan hal itu membuat hati terasa lebih tenang, aku akan mengikutinya. Tanpa dalil atau tidak, itu bukan masalah besar yang harus mendapatkan penanganan serius.
Hmmm, usai sudah. Akhirnya aku sudah selesai membaca buku ke 50 ku. Berkesan? Tentunya, ya. Tapi setelah yang ke 50, aku menjadi lebih aneh. Rasa menggebu-gebuku pada peneguran dan hal-hal berbau da’wah sepertinya sudah sedikit berkurang. Lagi-lagi karena buku ke 50 ku, aku tak ingin terlalu banyak bicara dan berkata-kata. Malah aku lebih tertarik untuk membaca lebih banyak buku lagi.
Aku lebih suka begini, ku tinggalkan semua yang kurang sepaham denganku tanpa banyak bicara. Walaupun kabar buruknya, aku renggang dengan Geya. Aku berpikir, sudahlah teruskan saja, mungkin aku punya cara lain. Aku nyaman begini. tapi tetap aku masih sedikit merasa lebih berpengetahuan.
Akhirnya. 100 buku sudah ku selesaikan. Aku malah lebih aneh lagi. Aku tak lagi suka dengan kata menegur, tapi sebaliknya. Aku lebih suka diisi dan hanya sedikit mengisi, itupun jika diminta. Aku bahkan lebih menyukai ini. Dan tampaknya, setelah buku ke 100 ku. Aku merasa tak lagi jadi orang yang berpengetahuan. Tapi aku lebih merasa jadi orang yang paling bodoh, karena baru mengetahui semua, disaat orang lain sudah mengetahuinya dari awal. Sungguh! Aku tak pernah merasa sebodoh ini. Karena kebodohanku ini, aku ingin membaca lagi dan lagi hingga mungkin 1000 buku.
10 buku masih kurang, 50 buku lumayan, 100 buku sedikit lebih baik, begitu seterusnya. Sama halnya dengan ilmu.
Sampaikan walau satu ayat. Terlihat mudah, tapi berat ketika diresapi. Tentunya banyak hal yang harus dipertimbangkan. Lantas, jangan karena tulisan ini sesuatu yang harus disampaikan jadi urung. Selagi menuang tentu kita juga mengisi, pastinya harus sesuai porsi, dosis dan tempat. Yaitu, dengan melihat segala sesuatu pada porsi dan sikon. Jika tidak, lalu apa bedanya menegur dengan mempermalukan?
Dan Geya. Sudah terlampau lama tak terlihat olehku.
Tapi tadi pagi aku melihat dia berbonceng dengan pemuda tampan dengan mengenakan kerudung ala hijabers masa kini, dan tanpa mengenakan kaos kaki. Hah?? Ada apa?? Sudahlah! Cukup pandang diri sendiri saja. Pikirku.
Wallahu’alam.
S. Langit

LEDMA Al-Farabi: Bersama Meraih Kemuliaan