Breaking

logo

Tuesday, January 15, 2013

Tokoh Islam - KH Mas Mansur: Ulama Kharismatik dari Jawa Timur

Tokoh Islam - KH Mas Mansur: Ulama Kharismatik dari Jawa Timur


Gagasan, pemikiran, dan kepribadian KH Ahmad Dahlan – pendiri Muhammadiyah – yang kerap berdakwah di kota Surabaya, Jawa Timur, mampu membetot perhatian Mas Mansur. Pada 1 November 1921, alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir itu bergabung dengan Muhammadiyah.

Sebelumnya, Mas Mansur bergabung dengan Nahdlatul Watan. Mas Mansur dikenal sebagai sosok yang memiliki semangat nasionalisme. Hal itu dibuktikan dengan nama madrasah yang didirikannya, Hizbul Wathan (tentara tanah air).

Rasa nasionalismenya tumbuh ketika menetap di Arab dan Mesir. Pada 1912, saat datang ke Mesir, di sana sedang terjadi kebangkitan nasional dan gerakan pembaruan yang dilakukan oleh putra-putra Mesir. Rasa nasionalismenya itu disalurkan dengan mendirikan beberapa organisasi dan majelis serta bergabung dalam organisasi di Indonesia, salah satunya adalah Muhammadiyah.

Setelah bergabung dengan Muhammadiyah, Mas Mansur langsung mendirikan cabang di kota Surabaya. Ia menjadi ketuanya. Di Muhammadiyah, ia mengemukakan banyak gagasan dan langkah untuk merealisasikan amal usaha organisasi tersebut.

Ketika Muhamamdiyah mendirikan pandu Hizbul Wathan (HW), ia mengganti nama madrasahnya menjadi Madrasah Mufidah. Pada 1922, Mas mansur juga mendirikan HW cabang Surabaya. Ia adalah pencetus atau penggagas lahirnya Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Mas Mansur terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah pada Oktober 1937. Di antara pemimpin lain yang pernah menjabat sebagai ketua, Mas Mansur menjadi ketua termuda yang pernah dimiliki Muhammadiyah. Ia diangkat ketika berumur 41 tahun. Jabatan ketua ini memaksanya pindah ke Yogyakarta dan melepaskan jabatan ketua cabang Surabaya.

Ia menjabat ketua PB Muhammadiyah selama dua periode, dari 1937 hingga 1942. Periode kepemimpinannya dikenal dengan sebutan "Periode KH Mas Mansur“. Pada 1938, ia melontarkan prinsip organisasi yang dikenal dengan nama "Langkah Muhammadiyah 1938-1940“ atau "Langkah Duabelas“.

Dalam prinsip tersebut dibahas mengenai pendalaman masuknya iman, perluasan paham agama, menuntut amalan intiqad, penguatan persatuan, melakukan kebijaksanaan, memusyawarahkan keputusan, dan lain-lain.

Sebelum terpilih menjadi ketua, di Muhammadiyah sempat muncul rasa ketidakpuasan yang dirasakan Angkatan Muda Muhammadiyah terhadap kebijakan pengurus besar. Mereka menganggap para pengurus terlalu mengutamakan pendidikan dan hanya mengurusi persoalan sekolah Muhammadiyah, namun melupakan syiar Islam.

Angkatan muda juga berpendapat PB Muhammadiyah hanya dikuasai tiga tokoh tua, yaitu Ketua Pengurus Besar KH Hisjam, Wakil Ketua KH Moechtar, dan Ketua Majelis Pertolongan Kesejahteraan Umum, KH Sjuja‘. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta, ketiga tokoh tersebut mendapat suara terbanyak. Kelompok muda semakin kecewa.

Setelah dilakukan dialog, ketiga tokoh ini setuju mengundurkan diri. Setelah mereka mundur, Ki Bagoes Hadikoesoemo diusulkan untuk menjadi ketua PB Muhammadiyah, namun ia menolak. KIai Hadjid juga menolak. Maka Mas Mansur pun diusulkan menjadi ketua. Pada awalnya ia menolak, namun setelah melakukan dialog panjang, ia akhirnya setuju.

Pergeseran kepemimpinan itu menunjukkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang demokratis, karena mau merespons aspirasi angkatan muda. Selama Mas Mansur memimpin organisasi berlambang Matahari itu, banyak angkatan muda yang cerdas dan progresif terlibat dalam kepengurusan.

Di era kepemimpinannya, Mas Mansur banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik Islam. Ia tidak ragu membuat kesimpulan tentang hukum bank. Ia berpendapat bank adalah haram, tetapi diperkenankan apabila keadaan memaksa. Menurutnya secara hukum bunga bank adalah haram.

Akan tetapi, ia melihat perekonomian umat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan ekonomi perbankan pada masa itu sudah menjadi sistem yang kuat di masyarakat. Kondisi itu dinilainya sebagai sebuah keterpaksaan untuk memperbaiki perekonomian umat.

Pada 1937, Mas Mansur terpilih sebagai bendahara Majelis Islam Ala Indonesia. Ketuanya bernama W Wandoamiseno. Ia bersama 22 tokoh Islam lainnya mendirikan Partai Islam Indonesia. Perjuangan politiknya pada masa kolonial ketika mengadakan pertemuan dengan pemerintah Jepang.

Bersama Abdul Kahar Muzakkir ia meminta secara langsung kepada pemerintah Jepang untuk tidak ikut campur dalam urusan keagamaan. Mas Mansur juga merupakan tokoh nasional yang dikenal sebagai empat serangkai, bersama Soerkarno, Muhammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Keterlibatannya dalam empat serangkai memaksanya melepas jabatan sebagai Ketua PB Muhammadiyah.

Mas Mansur juga tercatat sebagai salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada 1944, ia kembali ke Surabaya dan bersama pemuda terlibat dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

Dua tahun kemudian, dia ditangkap oleh NICA dan dipaksa berpidato untuk menghentikan perlawanan rakyat terhadap sekutu di Surabaya. Akan tetapi ia menolak, sehingga dimasukkan ke penjara. Ia wafat pada 25 April 1946 dalam penjara, karena kegigihannya membela bangsa dan negara. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.

Atas jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, yaitu KH Fakhruddin.

LEDMA Al-Farabi: Bersama Meraih Kemuliaan